Kontroversi mengenai keaslian ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan mantan Presiden Joko Widodo dianggap sebagai cerminan dari kelemahan aturan konstitusional terkait syarat calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. Romo Stefanus Hendrianto, mantan anggota KPU yang kini tinggal di Amerika Serikat, menyatakan pandangannya terkait masalah ini. Menurutnya, ketidakjelasan dan kurangnya batasan yang tegas dalam konstitusi menjadi penyebab polemik ini muncul.
Stefanus menyoroti bahwa konstitusi hanya menetapkan bahwa calon presiden atau wakil presiden harus lulusan minimal SMA, sementara untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, pendidikan doktoral (S3) diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa negara belum memperlakukan serius standar kualitas untuk pejabat publik, terutama posisi strategis seperti presiden dan wakil presiden.
Mengenai tudingan terhadap ijazah Gibran yang berasal dari Singapura, Stefanus mengatakan bahwa absennya mekanisme resmi untuk memverifikasi ijazah calon pejabat tinggi negara menjadi masalah utama. Selain itu, soal dugaan kepemilikan akun anonim Fufufafa di media sosial oleh Gibran sulit dibuktikan secara hukum.
Informasi terkait menunjukkan bahwa Gibran menempuh pendidikan di luar negeri, di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007). KPU telah menyetarakan kedua lembaga tersebut dengan jenjang SMA di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan akan prosedur verifikasi yang jelas dalam memeriksa ijazah calon pejabat negara untuk menghindari kontroversi di masa depan.





