Masyarakat Baduy yang mendiami wilayah Bumi Kanekes meminta pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian wilayah tempat tinggal mereka agar tidak terus menerus dirusak. Jaro Oom, yang menjabat sebagai Jaro Pamarentahan Baduy, mengungkapkan pentingnya UU Masyarakat Adat sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai leluhur mereka. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya pelestarian alam di Ujung Kulon yang merupakan jantung hutan di Banten dan habitat dari badak bercula satu.
Pelestarian alam dan hutan juga menjadi perhatian di wilayah Banten, seperti di Pulomanuk, Gunung Honje, dan Gunung Pulosari. Masyarakat Baduy berharap agar diakui, dilindungi, dan dipercepatnya penyelesaian RUU desa adat, perda adat, serta kebutuhan tingkat provinsi dan nasional mereka. Selain itu, mereka juga meminta ketersediaan obat penawar untuk digunakan sekitar desa agar dapat memberikan pertolongan cepat ketika ada warga Baduy yang digigit ular.
Selaku Gubernur Banten, Andra Soni, menyatakan komitmennya untuk melestarikan alam di wilayahnya. Ia memerintahkan Dinas Kesehatan setempat untuk menyediakan obat penawar bisa ular di sekitar desa adat Baduy. Acara Seba Baduy 2025, yang diikuti oleh 1.769 masyarakat Kanekes, menjadi momen penting bagi masyarakat Baduy. Mereka mempersembahkan laksa, intisari padi hasil panen seluruh warga Baduy, sebagai simbol utuhnya keluarga Baduy.
Seba Baduy 2025, yang dimasukkan ke dalam acara Seba Gede, diikuti oleh 69 orang masyarakat Baduy Dalam yang berpakaian serba putih. Mereka berjalan kaki dari Leuwidamar, Kabupaten Lebak, menuju Pendopo Lama Gubernur Banten di Kota Serang. Acara tersebut tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga pesan tentang harmoni dengan alam dan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan. Soni menyambut sambutan dari masyarakat adat Baduy dengan penuh hormat dan merespon tuntutan mereka dengan serius.