GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -52 Views

Pak Harto merupakan sosok yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08.00 pagi. Karakteristiknya yang khas adalah tulisan rapi dan ingatan yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dalam hal angka. Dia juga seorang pembaca yang rajin. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan di luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah bersekolah di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Itulah sebagian kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Saat itu, saya seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama adalah pada tahun 1976 ketika saya menjadi Komandan Peleton Pasukan KOPASSANDHA Grup 1 (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 di bawah komando Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua adalah pada tahun 1978, ketika saya menjadi Komandan Kompi Para-Commando dengan sandi Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah sebuah kompi pasukan serbu yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur, Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah, Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara itu, Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah sosok yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantornya pukul 08.00 pagi. Pukul 01.00 siang, dia sudah ada di rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pukul 19.00 dari hari Senin hingga Jumat, dia menerima tamu. Dia makan malam pukul 21.00. Kemudian pukul 21.35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak berdampingan dengan ruang kerja. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, ada tumpukan folder di meja kerjanya yang bisa mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudan-ajudannya bahwa setiap malam dari Minggu hingga Jumat, ada setidaknya 40 folder dan surat yang dibaca dan ditandatangani olehnya. Hanya pada Sabtu malam dia tidak akan ditemukan di meja kerjanya. Saya sering melihat dia bekerja hingga pukul 01.00 atau bahkan 02.00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pukul 04.30 pagi atau paling lambat pukul 05.00. Terkadang dia hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Ini berlangsung puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan telitinya dia. Kualitas khas lainnya adalah tulisan tangannya yang rapi dan ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dalam hal angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemui dia. Dia kemudian menceritakan pada saya dengan panjang lebar dan dalam detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalamannya sebagai Komandan Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik praktis dan hal-hal yang sangat detail. Bahkan dia bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap bawahannya dahulu kala. Saya kagum mendengarkannya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan TNI dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak lagi memimpin batalyon-batalyonnya dalam puluhan tahun, masih bisa mengingat dengan jelas pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit-unit militer pada tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya saat saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal tersebut membuat Batalyon 328 sangat dapat diandalkan dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon yang paling tajam selama bertahun-tahun. Juga ciri khasnya adalah bahwa dia sangat memahami filosofi Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto secara luas mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran kuno dan filosofi Jawa. Hal ini wajar karena semua pendidikannya terjadi di Indonesiayasalahsatunyasalahsatunyalah di kampung halamannya di desa Kemusuk Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para cendekiawan Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filosofi yang paling sering diajarkannya adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; ditambah dengan ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Ini adalah kumpulan ajaran, pengajaran, dan pepatah. Buku ini sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran ini bukan semata-mata slogan. Bagi banyak orang, itu menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk kehidupan yang bahagia di dunia. Itu juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, mereka yang mengikuti ajaran tersebut menggunakan kebijaksanaan para leluhur kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian saat Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melakukan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahansaya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Itu telah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima TNI memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan finansial khusus. Dana ini bisa digunakanuntuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 08.30 malam. Setelah menerima tamu, dia menemui saya dan bertanya apakah benar saya akan melakukan operasi keesokan harinya. Saya menjawab iya. Lalu dia memberikan saya tiga pesan, ‘Saya hanya punya tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Pegang erat di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya sudah siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangan di kepala saya sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dilakukannya kepada anak-anaknya, cucu-cucunya, dan orang-orang yang dicintainya, lalu membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, untuk sesaat, saya juga merasa terkejut dan sedikit kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberi tiga nasihat. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tentang tiga pesan yang diberikan oleh seorang Komandan yang besar tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil mengambil alih pengendalian Yogyakarta selama enam jam pada akhir 1948. Bahkan, saat itu, angkatan perang Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga adalah tokoh kunci dalam menggagalkan pemberontakan komunis G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima TNI dengan pengalaman pertempuran yang luas, nasihat Pak Harto secara alami harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link