Brigjen Mukti Mengungkap Fakta Mengejutkan Tentang Poppers, Obat Perangsang Favorit LGBT

by -53 Views

Selasa, 23 Juli 2024 – 11:48 WIB

Jakarta – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkap fakta mengejutkan tentang pengungkapan kasus peredaran obat perangsang atau poppers. Obat perangsang tersebut ternyata dijual oleh pelaku kepada kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Namun, dia menyebut obat perangsang tersebut juga dapat digunakan oleh pria dan wanita. Akan tetapi, lebih umum dikonsumsi oleh kelompok yang menyukai sesama jenis.

“Iya (digunakan untuk komunitas LGBT). Yang biasa menggunakannya adalah kelompok sesama jenis kaum laki-laki, homoseksual,” ucap Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Mukti Juharsa pada Selasa, 23 Juli 2024.

Tiga orang ditangkap dalam kasus ini adalah RCL, P, dan MS. Ratusan botol dan kotak obat Poppers disita, dengan total 959 botol dan 710 kotak.

Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) III Dittipidnarkoba Bareskrim Polri, Komisaris Besar Polisi Suhermanto mengatakan para pelaku menjual obat ini melalui marketplace dan media sosial setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang peredaran obat tersebut.

Dia menyebut bahwa pelaku yang menjual kepada kaum LGBT adalah RCL. Namun, target mereka tidak hanya kaum LGBT. Siapa pun yang ingin membeli tetap akan dilayani. RCL bukan hanya sebagai pengimpor dan penjual, namun juga mengonsumsi poppers tersebut.

“Penjualannya secara umum, siapa pun bisa membeli. Namun, produk ini lebih banyak digunakan oleh komunitas sesama jenis sebagai pengimpor dan penjual. Dia juga pernah mencoba,” katanya.

Lebih lanjut, poppers didapat oleh tersangka RCL dari impor Cina. Dia telah menjualnya sejak tahun 2022. Selain itu, ada dua tersangka lain yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), mereka adalah E dan L yang merupakan warga negara asing (WNA) dan sebagai eksportir dari Tiongkok.

Atas perbuatannya, ketiga tersangka peredaran poppers ini dijerat dengan Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.