BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

by -77 Views

Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI berikutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat bertempur seorang prajurit sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang total (tradisi puputan) yang ia nyalakan membangkitkan semangat bertempur pasukannya dan melawan Belanda hingga titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan hingga nafas terakhirnya.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut Sunda Kecil.

Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF). Pada September 1946, Belanda mulai menyerang. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan menyergap pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia dan pasukannya akan diampuni. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu petugas Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diarahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum kedatangan Jepang. I Gusti Ngurah Rai bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Suatu saat, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerbu. Namun, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasannya. Untuk menjaga semangat pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasannya, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini menyampaikan jawaban berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak pasukan Anda mendarat, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati keinginan rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin di Jawa. Bali bukanlah tempat untuk perundingan diplomatik. Dan saya tidak berada dalam posisi untuk berkompromi. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau sebaliknya saya bisa menjanjikan bahwa kami akan terus bertarung sampai tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran darah antara pasukan Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidaksediaannya untuk berkompromi dalam pengabdian untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran menyerah dari Belanda dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti pertempuran total. Oleh karena itu perang ini disebut sebagai pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang total”. Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (kala itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa.

Meski menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjataannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara pangkat Pangdam saat ini), dan pasukannya terus berjuang tanpa henti.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan yang ditembakkan dari pihak Indonesia di sore hari. I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu, termasuk dalam semua pasukan TRI di pertempuran tersebut, telah tewas.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI berikutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotismenya dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link