PDIP: Memiliki Ideologi yang Konsisten, Berbeda dengan Partai Lain yang Lebih Pragmatis

by -194 Views

Jakarta – Beberapa minggu terakhir ini perhatian publik tertuju pada agenda politik pemasangan calon presiden-wakil presiden Pemilu 2023. Terkait hal tersebut, ada beberapa orang yang mengindikasikan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bermain “dua kaki”. Namun, pandangan tersebut tidak berdasar dan tidak mengenal PDIP dengan baik.

Orang-orang yang menyuarakan pandangan tersebut tidak sepenuhnya memahami karakter politik PDIP selama ini. PDIP memiliki pendirian politik yang tegas karena partai ini lahir dari perjuangan yang keras dengan jiwa dan raga. Hal ini diungkapkan oleh Komunikolog Indonesia, Emrus Sihombing, kepada para wartawan.

Menurut Emrus, motif narasi yang dikembangkan oleh orang-orang tersebut mencoba menggiring opini publik demi kepentingan politik pragmatis. Jika PDIP memecat Gibran Rakabuming, anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), setelah diusung sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto, maka PDIP akan dianggap bermain “dua kaki”. Namun, jika Gibran tidak dipecat, kelompok kekuatan politik akan memainkan politik “playing victim” sebagai orang yang dizalimi. Hal ini bisa disebut sebagai politik jebakan batman.

Emrus menyarankan bahwa sebaiknya Gibran yang mengajukan diri mundur dari partai awalnya. Gibran telah menjadi realitas politik sebagai bakal calon wakil presiden yang diusung oleh beberapa partai lain.

Emrus menjelaskan bahwa garis politik PDIP sangat jelas karena lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba). Tidak ada partai politik lain di Indonesia yang sejelas dan seberani PDIP. Sebaliknya, beberapa partai politik seringkali menunjukkan politik pragmatisnya.

Contohnya, pada Pemilu 2019, Prabowo dengan Partai Gerindra-nya mengambil posisi sebagai kompetitor Jokowi yang diusung oleh PDIP. Namun, setelah PDIP menang di Pileg dan Pilpres, Prabowo turun posisi dan menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan. Sikap dan perilaku politik semacam ini tidak memiliki garis yang tegas secara ideologis. Sejatinya, Prabowo dan Partai Gerindra seharusnya berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi.

Emrus menekankan bahwa peran oposisi sama pentingnya dengan pemerintahan bagi rakyat. Oposisi dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan, namun beberapa partai politik dan aktor politik lebih memilih untuk “menghambakan” diri terhadap kekuasaan. Sikap dan perilaku politik semacam ini dapat merusak tatanan demokrasi kita.

PDIP bukanlah partai yang berdiri di atas politik pragmatis. PDI-P telah mengambil posisi yang tegas sebagai oposisi selama masa pemerintahan SBY dua periode. Partai ini berani menjadi oposisi dan mengabdi kepada rakyat, baik sebagai kepala daerah maupun presiden.

Demikianlah pendapat Emrus Sihombing mengenai permainan “dua kaki” yang dituduhkan pada PDIP. Hal ini perlu dipahami dengan baik agar tidak terjebak dalam manipulasi politik pragmatis.