LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -122 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggerakkan dan membangkitkan semangat orang, tetapi Gubernur Suryo juga merupakan seorang juru bicara yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh hebat kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa 10 November 1945. Dia adalah tokoh di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Itu adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari anak muda dan siswa pesantren Surabaya, dan Tentara Inggris. Itu adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sulit diraih.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menyebabkan tewasnya lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran selama hampir satu minggu antara Brigade yang dipimpin oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang resmi. Ada yang relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton tidak dapat saling membela karena terlalu terpencar di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dihapus sebagai kekuatan terorganisir. Aksi-aksi ini berakhir dengan pembunuhan Mallaby. Hal ini tentu membuat Inggris terhina. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara untuk dibaca oleh semua penduduk Surabaya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak diizinkan membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat yang kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu menahan serangan militer besar-besaran oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tak takut pada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merendahkan diri di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini merupakan keputusan yang harus diambil oleh Gubernur Suryo seorang diri.

Saat menjelang batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berapi-api. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarnya untuk mengambil senjata dan membela Surabaya.

Sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggugah dan memikat massa, Bung Tomo, gaya tenang namun tegas dari Gubernur Suryo sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Hal ini adalah lebih sulit lagi untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan luar biasa yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

LEBIH BAIK KAMI DIHANCURKAN DARIPADA DIKOLONISASI LAGI!

Saudara-saudara,

Pemimpin-pemimpin kami di Jakarta telah berupaya sebaik mungkin untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang, terserah kepada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan langkah selanjutnya. Semua upaya negosiasi kita telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus memegang teguh dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berkali-kali kita telah menyatakan posisi kita: Lebih baik kami dihancurkan daripada direkolonisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kita akan tetap mempertahankan sikap itu. Kita akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menyongsong segala kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, TNI, polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan rakyat. Marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan Rahmat serta Bimbingan-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link