Restrukturisasi BIN
Dinamika Restrukturisasi Intelijen di BIN (Badan Intelijen Negara) terus berlangsung sejak Reformasi tahun 1998. Sebelumnya, intelijen sering dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia dan alat untuk mempertahankan kekuasaan politik penguasa. Namun, dengan terjadinya Reformasi, tuntutan reformasi dalam tubuh intelijen negara semakin kuat. Hal ini menghasilkan lahirnya Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2011 tentang BIN.
Sejarah intelijen di Indonesia terbagi menjadi tiga periodesasi, yaitu era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Pada era Orde Lama, Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) dibentuk dengan fungsi intelijen tempur dan teritorial. Kemudian, pada era Orde Baru, terjadi pelembagaan ke dalam empat lembaga intelijen untuk melestarikan kekuatan politik pemerintah. Setelah terjadi Reformasi, RUU Intelijen Negara dibahas intensif hingga akhirnya disahkan menjadi UU, dengan tujuan untuk membuat BIN menjadi lembaga yang kredibel dan mampu menjawab tantangan keamanan.
Namun, setelah disahkannya UU tersebut, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh BIN, seperti kompleksitas dan dinamika ancaman yang terus berubah. Ancaman terorisme, radikalisme, kejahatan siber, dan konflik sosial masih menjadi fokus perhatian BIN. Oleh karena itu, restrukturisasi kelembagaan intelijen menjadi penting untuk membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi tantangan tersebut.
Restrukturisasi kelembagaan BIN mencakup penguatan kewenangan koordinasi, peningkatan akuntabilitas lembaga, modernisasi teknologi dan infrastruktur, serta peningkatan kapasitas dan kompetensi personel. Selain itu, restrukturisasi Badan Intelijen Daerah (BINDA) juga diperlukan untuk meningkatkan sistem deteksi dini di tingkat daerah. Dengan demikian, BIN diharapkan dapat memberikan respons cepat dan efektif terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat lokal maupun transnasional.
Yudha Kurniawan dosen Universitas Indonesia
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-7501181/restrukturisasi-badan-intelijen-negara