Kembalikan Wibawa Mahkamah Konstitusi Lewat Putusan MKMK

by -285 Views

Jakarta – (VanusNews) Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow menganggap wacana hak angket untuk menyelesaikan permasalahan di Mahkamah Konstitusi (MK) sah, tetapi kunci utama dalam memulihkan reputasi lembaga penjaga konstitusi tersebut adalah putusan dari Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang dapat memenuhi rasa keadilan publik.

“Sebagai sebuah hak, itu oke-oke saja, tetapi jika hak angket ini digunakan untuk kepentingan politik, saya rasa tidak akan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Itu menjadi masalahnya,” jelasnya saat dihubungi pada Jumat (3/11/2023).

Jeirry mengungkapkan bahwa nuansa politik yang kuat terasa dalam wacana hak angket tersebut.

Jeirry berpendapat bahwa lebih efektif untuk mendorong MKMK agar dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik agar bisa mengembalikan kepercayaan publik pada MK.

“Saya berharap banyak dari MKMK, itu jauh lebih strategis dan efektif. Semoga mereka tetap berkomitmen menjaga harga diri MK dan tidak terjebak atau terpengaruh oleh urusan politik yang terlibat dalam putusan MK,” ujar Jeirry.

Oleh karena itu, Jeirry mendorong agar masyarakat bersama-sama memperkuat dan mendukung MKMK.

Hal tersebut dianggapnya lebih efektif untuk menyelesaikan krisis konstitusi.

“Menurut saya, kita harus memperkuat dan mendukung MKMK. Menurut saya, itu jauh lebih efektif dan lebih bisa dipercaya oleh publik. Kita juga harus mendorong para hakim MKMK untuk berpikir sebagai negarawan, yang tidak terjebak dalam kepentingan politik tertentu atau dipengaruhi oleh kekuatan politik yang terlibat dalam kasus putusan MK ini,” jelas Jeirry.

Menurut Jeirry, jika MKMK tidak mampu menghasilkan putusan yang jelas, maka akan muncul masalah yang lebih besar, yaitu hilangnya kepercayaan publik pada lembaga yang menentukan hasil pemilu.

Padahal, lanjut Jeirry, Indonesia akan segera mengadakan pemilihan umum pada tahun 2024.

“Jika itu tidak ada lagi, maka akan semakin rumit bagi kita,” ungkap Jeirry.

Iss Elit

Sementara itu, Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus mengatakan bahwa penggunaan hak angket DPR terhadap MK tidak tepat.

“Hampir semua pakar tata negara menganggap hak angket DPR sebagai instrumen pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Sedangkan MK masuk dalam ruang lingkup yudikatif. Secara prinsip, lembaga yudikatif seharusnya tidak dapat diselidiki oleh lembaga politik seperti DPR,” kata Lucius.

Lucius mengatakan bahwa DPR, yang bekerja berdasarkan kepentingan politik tertentu, jelas tidak dapat netral dalam menilai suatu keputusan, terutama jika keputusan tersebut masih terkait dengan dunia politik.

“Unsur kepentingan politik pada anggota DPR membuat mereka dan fraksinya menilai keputusan hukum dari segi keuntungan atau kerugian politik bagi diri mereka dan partainya,” ujar Lucius.

“Oleh karena itu, menurut saya, terkait dengan keputusan MK mengenai syarat calon presiden-wakil presiden, hal itu jelas bukan objek yang tepat untuk digunakan sebagai alasan penggunaan hak angket oleh DPR,” tambah Lucius.

Menurut Lucius, isu terkait hak angket terhadap MK ini lebih merupakan isu elit, di mana syarat calon presiden-wakil presiden merupakan isu elit yang tidak langsung berkaitan dengan kepentingan rakyat.

“Jika DPR benar-benar adalah wakil rakyat, sebelumnya ada begitu banyak isu terkait kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan rakyat yang seharusnya mendorong penggunaan hak angket. Tetapi karena dalam beberapa periode lalu, koalisi pendukung pemerintah dominan, maka kebijakan pemerintah yang bermasalah justru disetujui oleh DPR,” tegas Lucius.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian permohonan terkait batas usia calon presiden-wakil presiden, kecuali bagi mereka yang pernah menjabat sebagai pejabat publik.

Keputusan ini menuai kontroversi karena dianggap sebagai politik dinasti, terutama terkait dengan Gibran Rakabuming, anak dari Presiden Joko Widodo yang juga keponakan dari Ketua MK Anwar Usman. MK dituduh melegitimasi politik dinasti dan mendapat kecaman dari masyarakat dan pihak yang peduli dengan hukum dan tata negara.

Selanjutnya, anggota DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, mengusulkan penggunaan hak angket DPR terhadap MK. Namun, usulan ini dianggap tidak tepat.

“Saya pikir sebagai warga negara, kita selalu mendukung DPR yang kuat dalam menggunakan semua kewenangan mereka berdasarkan Undang-Undang. Ada banyak isu rakyat yang seharusnya cukup untuk memicu penggunaan hak angket, tetapi DPR justru lambat bereaksi. Sekarang, saat masalah Pemilu sedang rumit, DPR seolah-olah baru mulai bekerja,” tegas Lucius Karus. VN-DAN