Senin, 15 Januari 2024 – 11:32 WIB
Washington – Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden telah kehilangan kesabaran terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terkait konflik di Gaza.
Mengutip para pejabat AS yang mengetahui masalah ini, situs berita Axios melaporkan bahwa Biden dan para pejabat senior Amerika semakin frustrasi terhadap Netanyahu dan penolakannya untuk memenuhi permintaan Washington terkait konflik di Gaza. “Situasinya buruk dan kita terjebak. Kesabaran presiden sudah habis,” ucap seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa Biden tidak melakukan percakapan dengan perdana menteri Israel selama 20 hari terakhir. Percakapan telepon terakhir antara kedua pria tersebut, hanya terjadi pada 23 Desember, yang digambarkan sebagai percakapan yang menegangkan. “Ada rasa frustrasi yang sangat besar,” kata pejabat AS lainnya, dikutip dari Anadolu Ajansi, Senin, 15 Desember 2024.
Sebagai informasi, permintaan AS kepada Netanyahu adalah pencairan pendapatan pajak Palestina yang ditahan oleh Israel, kelambanan Israel untuk mengizinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, penolakan Netanyahu terhadap rencana AS untuk membentuk Otoritas Palestina yang direformasi untuk berperan di Gaza pasca-Hamas dan pengurangan operasi Israel di Gaza. Senator Demokrat Chris Van Hollen, yang menurut Axios, telah melakukan kontak dekat dengan para pejabat Amerika mengenai konflik tersebut. Dia mengatakan, “Pada setiap saat, Netanyahu telah memberikan bantuan kepada Biden.” “Mereka memohon kepada koalisi Netanyahu, namun wajahnya (seperti) ditampar berulang kali,” kata senator tersebut.
Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh kelompok perlawanan Palestina yang diklaim Tel Aviv menewaskan 1.200 orang di Israel. Setidaknya 23.968 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 60.582 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina. Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong tersebut rusak atau hancur.