Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketangguhan mereka. Para ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuatan asing yang sombong dan congkak. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual besar, orator, dan pengorganisir. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Presiden Indonesia pertama, Presiden Soekarno. Pelajaran yang saya ambil dari beliau bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara, Soekarno merumuskan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang masih sangat relevan hingga saat ini. Mulai tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, baru membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama waktu ini, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta membentuk dasar pemerintahan baru Indonesia. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa sejarah yang sangat berpengaruh terhadap arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Soekarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti yang bisa dibayangkan, saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apapun. Namun Presiden Soekarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, saudari-saudari, rakyatku! Saya telah mengumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita rakyat Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan, selama beratus-ratus tahun! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan kita mengalami kemajuan dan kemunduran, tapi semangat kita tetap pada tujuan kita. Juga, selama penjajahan Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan terus berlanjut. Mungkin kelihatannya kita bergantung pada Jepang, tapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Kini saatnya untuk benar-benar mengendalikan nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri teguh dan bangga. Maka [hari ini], kita telah bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah mencapai kata sepakat bahwa sekarang adalah waktu untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Oleh karena itu, dengan tegas kami nyatakan: Bisa dibayangkan keadaan batin Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini memicu pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Ketika itu, kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa persenjataan Belanda dan Jepang yang berhasil kita rebut. Peristiwa kedua yang sangat penting dalam pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Saat itu, Presiden Soekarno dihadapkan pada tekanan besar untuk menciptakan dasar ideologi bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk menentukan dasar ideologi berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di depan rapat, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Soekarno berkata: Kita ingin menciptakan sebuah negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk bangsawan, bukan untuk orang kaya – tapi untuk semua! Republik Indonesia tidak milik pada satu kelompok, tidak pula milik pada agama tertentu atau kelompok etnis atau budaya, tetapi ia milik pada semua dari Sabang hingga Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang lama. Bahkan Pak Soemitro ikut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta melawan pemerintahan Presiden Soekarno. Karena saya adalah anak dari Profesor Soemitro, ada yang mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga yang anti-Soekarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah berkata, ‘Tapi, anak-anakku, kalian semua harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin besar. Bung Karno adalah salah satu pemimpin yang luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang beragam, faksi politik, dan adat istiadat untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah memberitahu kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, mungkin kita tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi malah berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itulah yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara. Begitu juga dengan negara-negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan oleh almarhum ayah saya. Kemudian, Pak Mitro menceritakan kepada saya bagaimana dia, pada awal 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak berkolaborasi dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan menegurnya. Bung Karno mengatakan kepada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, saat kau masih mengenakan celana pendek, saya sudah masuk dan keluar penjara. Ingat itu. Kau hanya urusi ekonomi dan biarkan politik padaku. Saya lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro mengatakan kepada saya bahwa Soekarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tetapi menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak punya niat buruk. Saya hanya ingin Bung Karno tidak jatuh dalam perangkap. Saya yakin bahwa suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) sewaktu itu adalah dia, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika ditawari posisi tersebut, dia sekali lagi mendorong Bung Karno untuk tidak berkolaborasi dengan PKI. Bung Karno kesal dengan ketegasan Pak Mitro, dan dia memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah itu kepada saya, saya berkata kepadanya, ‘Pak, saya pikir Anda membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sampingnya, Anda mungkin bisa mencegah permainan PKI.’ Pak Mitro merenungkan apa yang saya katakan untuk waktu yang cukup lama sebelum dia mengakui: ‘Saya kira Anda benar, Bowo. Seharusnya saya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya dengar dari adik saya, Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika dia sedang sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki penyesalan dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesali dalam hidup Anda?’ Jawab Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Seharusnya saya tetap berada di sisinya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itulah norma di kalangan Generasi ’45 – mereka memiliki pandangan yang berseberangan, tetapi mereka saling menghormati. Selain itu, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam pendirian kita, karena suatu saat, pendirian kita bisa menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berotot, karismatik, dengan senyuman lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seolah-olah saya akan dilemparkan ke udara. Kemudian beliau meletakkan saya kembali di atas kaki saya. Saya tidak ingat dengan pasti…