Jakarta – (VanusNews) Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah mengimplementasikan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBET) secara bertahap sesuai rencana dalam Kebijakan Energi Nasional tanpa pengaruh kepentingan negara lain.
Mulyanto menegaskan transisi listrik berbasis EBET ini tidak boleh didasarkan pada tekanan atau didikte oleh pihak internasional, sementara negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa sendiri tidak memperlihatkan komitmen yang baik.
“Kita kan negara berdaulat, di mana program-program pembangunan nasional kita, termasuk pembangunan bidang energi, haruslah didasarkan pada national interest, yakni ketahanan energi nasional,” kata Mulyanto kepada para wartawan, Rabu (3/7/2024).
Wakil Ketua F-PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini menjelaskan tenaga listrik yang ada saat ini masih tergantung pada sumber batu bara, di mana lebih dari enam puluh persen pembangkit listrik adalah PLTU.
Namun, lanjut Mulyanto, Indonesia bertekad menjadi negara dengan NZE (net zero carbon emmisions) pada tahun 2060, sebagaimana dalam berbagai forum internasional telah dinyatakan oleh Presiden.
“Juga ditegaskan dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang draft revisinya masih terus dibahas di Komisi VII DPR RI. Begitu pula RUPTL PLN 2024-2033 merupakan yang paling hijau, karena sampai tahun 2030 nanti akan ditambah kapasitas terpasang sebesar 21 GW pembangkit, di mana sebesar 51,6 persen -nya berasal dari sumber EBET,” ungkap Anggota Baleg DPR RI ini.
Bahkan, kata Mulyanto, PLN punya target hingga tahun 2040 mendatang akan ada penambahan kapasitas pembangkit listrik hingga 80 Gigawatt (GW), di mana sebesar 75 persen -nya berasal dari EBET dan 25 persen sisanya berasal dari pembangkit berbasis gas.
Namun, tutur Mulyanto, dalam implementasinya rencana tersebut bisa saja berubah mengikuti perubahan dinamika lingkungan strategis yang ada.
“Karena kita adalah negara yang kaya dengan sumber daya batu bara. Tentu sumber daya ini tidak akan kita anggurkan. Selain itu dengan harga listrik EBET yang ada sekarang jangan membebani masyarakat atau menambah anggaran subsidi negara,” ulas Mulyanto.
Mulyanto meminta pemerintah jangan latah menerapkan konsep power wheeling, di mana pihak pembangkit listrik dapat menjual listriknya secara langsung kepada pelanggan.
“Karena ini berarti meliberalisasi sektor kelistrikan, dimana BUMN PLN tidak lagi menjadi single buyer, single seller listrik. Kemudian terkait dengan kapasitas nasional dan TKDN, kita tidak ingin komponen dan jasa pembangkit listrik yang berasal dari sumber EBET ini tergantung pada atau didominasi oleh sumber impor. Kita ingin sumber domestik lebih dari 40 persen. Oleh karena itu, tetap perlu adanya pembatasan-pembatasan impor,” papar Mulyanto.
Legislator asal Dapil Banten 3 ini menyebut, negara seperti AS dan Uni Eropa saja bersikap sangat realistis terhadap dinamika ekonomi dan geopolitik masing-masing, demikian pula dengan India.
“Amerika dan Uni Eropa mengenakan tarif impor yang tinggi untuk kendaraan listrik, panel surya dan barang-barang lainnya dari Tiongkok, karena dianggap disubsidi secara besar-besaran oleh negara,” pungkas Mulyanto. VN-DAN