LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -102 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu pergi berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Kadang-kadang, yang harus dilakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogokan kepada raja-raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang kesetiannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji manfaat ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang teguh dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun ia tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, ketekunan dan semangatnya untuk mengusir Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) cukup untuk memastikan tempatnya dalam sejarah.

Hingga akhir hidupnya, Sultan Agung tidak menyerahkan diri pada tawaran yang diberikan oleh VOC meskipun menarik baginya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan Jepang pernah pada masa yang berbeda menjajah Indonesia. Prancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon selama masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk mengatur Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa pra-kemerdekaan itu, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekerasan. Mereka menindas rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Kadang-kadang, yang mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogokan kepada raja-raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum-museum Belanda hari ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang bisa melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada pemimpin-pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja-raja Nusantara, untuk memerintah di kepulauan ini.

Hadiah-hadiah semacam itu tidak berharga dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan kepolosan beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak dari para pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena pembakaran, berita palsu, dan upaya untuk membagi dan memerintah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang teguh dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun ia tidak berhasil membebaskan Batavia dari pemerintahan Belanda, ketekunan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa telah mengukuhkan tempatnya dalam sejarah. Hingga akhir hidupnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran menarik yang diberikan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645.

Ia adalah seorang sultan dan panglima yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kekaisarannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa karena perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal masa pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641, Sunan Agung menerima gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung untuk berkolaborasi, namun ia menolak tawaran itu dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang yang berkepanjangan melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak berkolaborasi dengan VOC.

Sultan Agung berusaha menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini diputus pada tahun 1635 karena posisi Portugis yang lemah.

Seluruh Pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Saat itu, Banten telah mengalami asimilasi budaya. Wilayah-wilayah di luar Jawa yang berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebuah kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya, dan pengembangan ekonomi, terutama dengan diperkenalkannya sistem pertanian.

Source link