LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART I)

by -88 Views

Ada pepatah yang mengatakan seorang guru sejati harus bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa muridnya dan anak buahnya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing muridnya untuk mewujudkan potensi penuh mereka dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Kemal Idris

Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi salah satu tokoh TNI yang sangat terkenal. Ketika itu, ia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru di awal pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Kemal Idris juga adalah teman dari pamanku, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata pada saya, ‘Saya adalah sahabat terbaik pamanku. Pamanku adalah seorang pria yang sangat berani. Jika pamanku masih hidup hari ini, saya yakin dia akan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Kamu harus mengikuti jejak pamanku, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’ Saya ingat kata-katanya.

Setelah saya mempelajari lebih banyak tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya paham bahwa dia adalah sosok yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris merupakan batalyon TNI pertama yang masuk ke ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Ketika itu, Pak Kemal Idris adalah seorang Mayor, sehingga dia sangat terkenal. Saat itu, merupakan tradisi bagi batalyon TNI dinamai dari komandan-komandan terkemuka. Maka ada Batalyon Kemal Idris, Batalyon Ahmad Yani, Batalyon Poniman, dan lain-lain. Pada tanggal 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang pria yang berani, sangat pro-rakyat, dan nasionalis teguh. Dia sangat benci korupsi sehingga dia bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga seringkali para senior menganggapnya sebagai ‘anak nakal’. Saya bahkan pernah mendengar Pak Harto sekali menyebut nama Pak Kemal Idris sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya… Kemal yang keras kepala.’ Tetapi para senior selalu mengampuni dan melindunginya karena dia adalah pria yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda.

Kemal Idris bertempur melawan pemberontak selama tahun 1950an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI 1965, dia menjadi sahabat terpercaya Pak Harto di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Kualitas Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikapnya yang terbuka dan ramah, dan penuh humor. Dia selalu jujur dan berpihak pada rakyat kecil. Namun, Pak Kemal Idris juga memiliki kekurangan. Dia adalah seorang pribadi yang emosional dan sering membuat keputusan dan kesimpulan secara tergesa-gesa sebelum benar-benar memahami situasi. Kadang-kadang, sifat ini membuatnya terjerumus dalam masalah sesungguhnya. Selama hidupnya, dia sering memberi saya nasihat. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya mendapatkan banyak wawasan kepemimpinan dari beliau. Beberapa jam sebelum kepulangannya, ADC-nya memberitahu saya bahwa dia sangat sakit, dan saya mengunjunginya di RS Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas ranjang kematiannya, dia berbisik pada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-kata terakhirnya pada saya, ‘Jaga keselamatan Republik ini, terima kasih.’ Saya memberikan hormat pada beliau, dan secara instan, air mata mulai mengalir di pipi saya. Itu adalah momen yang penuh emosional. Saat itu, saya sudah tidak lagi menjabat sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya saat dia mengalami momen terakhir kehidupannya.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Hartono Rekso Dharsono

Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terkuat Pak Harto. Dia berani memperbaiki Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para senior dan rekan-rekannya. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Dia sering mengenakan topi beret Kujang. Dia muncul sebagai sosok pahlawan idola. Dia diidolakan oleh para pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda di ibu kota Jakarta. Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. R. Dharsono dikenal oleh mereka yang dekat dengannya dengan julukan Pak Ton. Pak Ton dan Pak Kemal Idris sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orang tua saya. Pak Ton juga adalah sahabat dari pamanku Pak Subianto dan ayahku, Pak Soemitro. Dia pernah menjabat sebagai Atase Pertahanan di London. Dia juga memiliki karier gemilang di TNI. Dia merupakan sosok yang menonjol di Kodam Siliwangi, yang kemudian dikenal dengan Divisi Siliwangi. Dalam operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono menonjol sebagai komandan batalyon. Ketika pemberontakan G30S/PKI terjadi, ia menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi. Akhirnya, ia menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie, kemudian menjabat sebagai Komandan Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Pada saat itu, dia berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Dia sering mengenakan topi beret Kujang. Dia diidolakan sebagai sosok pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibu kota Jakarta. Selama era Orde Baru, dia adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Dia berani membenahi Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para senior dan rekan-rekannya. Akibatnya, ia dituduh mendukung tindakan teror dan bahkan sempat dipenjara secara singkat.

Pada saat itu, saya masih seorang perwira muda. Saya khawatir karena saya tahu bahwa dia dicaci dan dituduh mungkin oleh kelompok-kelompok di dalam Angkatan Darat yang tidak menyukainya. Ketika dia dipenjara, saya masih seorang Letnan Dua. Saat saya mengikuti kursus dasar spesifik bidang di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Kemudian saat saya menjabat sebagai Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab atas pembangunan markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor serta subkontraktor. Saya belajar bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan perusahaan furnitur dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan itu. Kemudian saya dimarahi oleh salah satu atasan saya, yang mengatakan, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’

Source link