Menurut Prediksi MK, Penggunaan Kekuasaan sebagai Alat Legitimasi untuk Membusukkan Demokrasi dan Negara Hukum

by -171 Views

Oleh: Muhammad Isnur

Putusan terakhir Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus Pilpres atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang tidak menemukan adanya fakta hukum kecurangan Pemilu 2024 merupakan bukti konkret kegagalan MK sebagai penjaga kedaulatan rakyat dan konstitusi.

Meskipun terdapat Pendapat Dissenting dari tiga hakim MK yang pada dasarnya menyatakan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), putusan akhir MK menunjukkan bahwa MK saat ini tidak lebih dari Mahkamah Kekuasaan yang bertugas untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan dan dinasti politik keluarga.

Hal ini didasari oleh argumen berikut:

1. Jika melihat sejarah terkait dengan komposisi hakim Mahkamah Konstitusi yang menjabat dan rekam jejak putusan MK dalam mengadili Pengujian Undang-Undang yang kontroversial belakangan ini seperti UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, termasuk Skandal Putusan MK terkait batas usia Cawapres dalam UU Pemilu yang mengizinkan Gibran Rakabuming Raka (anak sulung Presiden Jokowi) sebagai calon Wakil Presiden. YLBHI sudah mencurigai bahwa putusan MK dalam PHPU kali ini hanya akan mengakhiri pada keputusan yang melegitimasi praktik politik dan pemilu curang yang berlangsung dengan mengabaikan prinsip demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. YLBHI menganggap bahwa MK sebagai sebuah lembaga telah kehilangan martabat dan independensinya untuk memutuskan kasus-kasus yang berhubungan erat dengan kepentingan politik pemerintah yang berkuasa sejak adanya intervensi melalui revisi UU MK yang kontroversial, praktik manipulasi putusan syarat usia wakil presiden oleh ketua MK Anwar Usman, dan praktik penggantian hakim MK secara ilegal oleh DPR RI;

2. Sidang MK untuk sengketa Pilpres dengan mekanisme speedy trial memiliki batasan waktu untuk pembuktian sehingga sulit untuk membuktikan secara menyeluruh dan dalam proses tersebut para Hakim MK tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk aktif mencari dan menemukan bukti-bukti material. Hal ini membuat sidang sengketa pilpres hanya menjadi formalitas dan sandiwara hukum untuk menghilangkan jejak fakta kecurangan pemilu.

3. Pada akhirnya, dalam pertimbangan hukum putusannya, mayoritas hakim MK tutup mata terhadap fakta material yang jelas seperti ketidaknetralan Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara di berbagai daerah untuk memenangkan salah satu calon, termasuk penyaluran dana bantuan sosial sebagai alat untuk mendukung salah satu peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai fakta hukum substansial mengenai ketidakadilan dalam proses pemilu tidak diakui dengan alasan hukum normatif positivistik seperti telah diproses oleh Lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu sesuai kewenangannya seperti Bawaslu dan DKPP dan alasan kurangnya bukti untuk meyakinkan adanya kecurangan.

Mengacu pada hal di atas, YLBHI melihat perlunya Mahkamah Konstitusi diletakkan kembali sebagai kekuasaan kehakiman yang independen untuk menjaga demokrasi dan konstitusi, bukan seperti saat ini di mana MK menjadi semacam Mahkamah yang hanya membenarkan kekuasaan otoriter yang tersembunyi di balik hukum (undang-undang dan putusan pengadilan yang kontroversial).

Penulis adalah Ketua Umum YLBHl